Sosok Mararusli Sihaji: Dari Perantauan ke Kursi Ketua DPRD Buton. Foto: Ist.
BUTON, NOTIFSULTRA.ID - “Kalau saya jadi DPR, bagaimana ya?” Sebuah pertanyaan sederhana itu muncul di benak Mararusli Sihaji bertahun-tahun lalu, ketika ia masih berada di Maluku.
Saat itu, ia sekadar membantu seorang calon legislatif. Tak disangka, keterlibatannya justru menumbuhkan rasa ingin tahu sekaligus memantik jalan panjangnya hingga kini ia duduk sebagai Ketua DPRD Buton.
Perjalanan Mararusli tidaklah singkat. Ia lahir dan besar di Buton, namun sejak usia 15 tahun harus merantau ke Ambon. Dua puluh tahun lamanya ia membangun kehidupan di sana.
Dari bekerja di ekspedisi kapal selama delapan tahun, hingga terlibat aktif dalam organisasi kedaerahan, pengalaman itu membentuk kemandirian sekaligus mengasah kepemimpinannya.
“Di perantauan kita belajar kerasnya hidup. Itu yang membuat saya berpikir bagaimana kelak bisa membangun kampung sendiri,” kenangnya.
Keputusannya pulang ke tanah kelahiran membawa babak baru. Tahun 2019, ia maju sebagai calon legislatif dan berhasil duduk di DPRD Buton. Golkar menjadi kendaraan politiknya, awalnya karena ajakan seorang teman.
Namun, semakin ia terlibat, semakin ia merasa bahwa semangat pengabdian partai itu sejalan dengan panggilan hatinya untuk melayani masyarakat.
Latar belakangnya sebagai sarjana hukum juga memberi warna tersendiri. Mararusli kerap membantu warga yang terjerat persoalan hukum, terutama mereka yang tidak mampu.
Pengalaman bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum menjadi bekal untuk memahami betapa pentingnya keberpihakan kepada masyarakat kecil.
Kini, sebagai Ketua DPRD Buton, ia memimpin dengan prinsip musyawarah. Baginya, perbedaan pendapat antarfraksi adalah hal yang wajar.
“Kalau kita duduk bersama, insya Allah semua bisa disepakati. Tidak boleh ada keputusan yang dilanggar sendiri,” tegasnya.
Soal pembangunan daerah, ia melihat potensi besar di sektor maritim dan pariwisata. Ia mendorong agar anggaran fokus pada satu destinasi hingga benar-benar menjadi ikon, salah satunya Kali Biru yang menurutnya bisa dikembangkan sebagai wisata air alami.
Namun, ia sadar keterbatasan APBD, sehingga mendorong perlunya dukungan anggaran dari pusat.
Selain itu, tantangan di Buton juga datang dari sektor tambang aspal. Aktivitas pemuatan yang meresahkan masyarakat harus diatur melalui perda, agar kepentingan publik tetap terlindungi.
Dari semua program yang pernah ia perjuangkan, sektor kesehatan menjadi yang paling berkesan. Ia mengaku lega ketika bisa membantu warga kurang mampu mengakses layanan BPJS dan rumah sakit.
"Kesehatan itu menyangkut nyawa. Jadi harus diprioritaskan,” ucapnya penuh keyakinan.
Fokusnya ke depan adalah pertanian dan perikanan. Komoditas Nilam yang sempat naik daun, serta potensi ikan yang melimpah, menurutnya bisa menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.
Namun, ia menekankan pentingnya pasar dan fasilitas penampungan agar hasil panen dan tangkapan tidak sia-sia.
Di tengah kesibukan, Mararusli tetap menyisihkan waktu untuk keluarga. Momen sederhana seperti duduk bersama orang tua menjadi cara terbaiknya menjaga keseimbangan hidup.
Untuk generasi muda Buton, ia menitip pesan agar terus mengutamakan pendidikan. “SDM kita sudah bagus, tapi harus ditingkatkan lagi. Anak muda Buton harus semangat belajar dan jangan ragu memberi masukan untuk pembangunan daerah,” harapnya.
Dari pengalaman merantau hingga memimpin lembaga legislatif, Mararusli menyimpan tekad yang sama: membangun tanah kelahiran.
“Saya ingin Buton bisa berkembang lebih baik, PAD meningkat, dan masyarakat lebih sejahtera,” tuturnya menutup perbincangan.
Penulis: Ana Pratiwi.